Selasa, Februari 24, 2009

Rinitis Atrofi (Ozaena)

oleh: I Dewa Ayu Vanessa

PENDAHULUAN

Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis chronica atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.

Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi. Menurut pengalaman, untuk kepentingan klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, oleh karena ini sangat menentukan terapi dan prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Biasanya discharge berbau, bilateral, terdapat crustae kuning kehijau-hijauan. Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia).1,2,4

Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.1,2,3

Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.5


TINJAUAN PUSTAKA


Batasan

Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis chronica atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida. Karakteristiknya ialah adanya atropi mukosa dan jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya crustae yang berbau khas. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita daripada pria, terutama pada umur sekitar pubertas.1,2,6


Kekerapan

Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria. Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun. Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. Di RS H. Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37 tahun.1,2

Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.5



Etiologi

Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Terdapat berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit degeneratif sejenis. Beberapa penulis menekankan faktor herediter.5,6 Namun ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 1,3,5

· Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella Ozaena. Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena.

· Defisiensi. Defisiensi Fe dan vitamin A.

· Infeksi sekunder. Sinusitis kronis.

· Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon estrogen.

· Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun.

· Teori mekanik dari Zaufal.

· Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom.

· Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).

· Herediter.

· Supurasi di hidung dan sinus paranasal.

· Golongan darah.

Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas : rinitis atrofi primer yang penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung (operasi besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik yang disebabkan oleh sifilis, lepra, midline granuloma, rinoskleroma dan tbc. Radiasi pada hidung umumnya segera merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan hampir selalu menyebabkan rinitis atrofik. Berbagai infeksi seperti eksantema akut, scarlet fever, difteri dan infeksi kronik telah diimplikasikan sebagai penyebab cedera pembuluh darah submukosa. Penyebab dari lingkungan juga telah diajukan karena angka insiden yang lebih tinggi pada masyarakat sosio ekonomi rendah.1,5


Patologi dan Patogenesis

Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua : 1

a) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.

b) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.

Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.1 Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 3

· Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.

· Silia hidung. Silia akan menghilang.

· Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis.

· Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau jumlahnya berkurang.


Gejala Klinis dan Pemeriksaan

Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi penderita sendiri (-), orang lain (+) penciumannya. Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari gambaran.1,2,4,5,6

Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi), sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering.1,3 Bisa juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang timbul). Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 1

a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit.

b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.

c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.

Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai mukosa hidung tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan pendarahan.5

Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis sicca.

Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat dilakukan antara lain : 3,4

· Transiluminasi.

· Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis.

· Pemeriksaan mikroorganisme.

· Uji resistensi kuman.

· Pemeriksaan darah tepi.

· Pemeriksaan Fe serum.

· Pemeriksaan histopatologi. Dari pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya mengecil.

· Pemeriksaan serologi darah.


Diagnosis

Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis.1


Diagnosis Banding

Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) antara lain :

1. Rinitis kronik TBC

2. rinitis kronik lepra

3. rinitis kronik sifilis

4. rinitis sika



Komplikasi

Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :

1. Perforasi septum

2. Faringitis

3. Sinusitis

4. Miasis hidung

5. Hidung pelana


Penatalaksanaan

Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif. Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal dengan endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai darah mukosa hidung.5 Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.1,3


Konservatif

Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung, dan simptomatik.

1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.

2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan menghilangkan bau. Antara lain :

a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau

b. Campuran :

· NaCl

· NH4Cl

· NaHCO3 aaa 9

· Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat

c. Larutan garam dapur

d. Campuran :

· Na bikarbonat 28,4 g

· Na diborat 28,4 g

· NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat

Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena) biasanya dengan pemberian preparat Fe.

3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.

4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.

5) Preparat Fe.

6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.


Operasi

Tujuan operasi pada rhinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi.1 Teknik bedah dibedakan menjadi dua kategori utama : 5

1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan

2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah dalam.

Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 1

1) Young's operation

Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.

2) Modified Young's operation

Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.

3) Lautenschlager operation

Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung.

4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue.

5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan tujuan membasahi mukosa hidung. Mewengkang N melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan.

Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.4


Daftar Pustaka

1. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from : http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004.

2. Soedarjatni. 1977. Foetor Ex Nasi. Available from : http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977.

3. Al-Fatih, M. 2007. Rinitis Atrofi (Ozaena). Available from : http://hennykartika.wordpress.com. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.

4. Arif, M., et al. 2006. Rinitis Atrofi (Ozaena). Available from : http://www.geocities.com. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Buku Kapita Selekta Kedokteran. Ed. III, cet. 2. Jakarta : Media Aesculapius. 1999.

5. Adams, L. G. et al. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

6. Endang, M. & Nusjirwan, R. 2006. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

1 komentar:

  1. Terima kasih banyak atas pencerahannya, saya sudah lama mencari penjelasan tentang keadaan yang saya alami, dan saya mendapatkannya di sini. Trima kasih

    BalasHapus